Makalah Kesehatan Mental
Faktor-faktor terjadinya pedofilia pada profesi
pengajar
Ibnu
Shina Hawari (14513180)
Fakultas
Psikologi
Universitas
Gunadarma
2015
BAB 1
Pendahuluan
Pedofilia adalah gangguan kejiwaan pada
orang dewasa atau remaja yang telah mulai dewasa (pribadi dengan usia 16 atau
lebih tua) biasanya ditandai dengan suatu kepentingan seksual primer atau
eksklusif pada anak prapuber (umumnya usia 13 tahun atau lebih muda, walaupun
pubertas dapat bervariasi). Anak harus minimal lima tahun lebih muda dalam
kasus pedofilia remaja (16 atau lebih tua) baru dapat diklasifikasikan sebagai
pedofilia. Menurut data KPAI angka kasus pedofilia di indonesia semakin tahun semakin
meningkat. Ada beberapa faktor yang mendorong semakin banyak dan berkembangnya
para pelaku pedofilia, diantaranya banyak dari korban pedofilia yang tidak
mendapatkan terapi psikologis sehingga menyebabkan ia menjadi pelaku di
kemudian hari, serta hukuman yang tidak setimpal dan kurang adanya perhatian
khusus dari pemerintah, masyarakat dan orang tua.
Guru
adalah sebuah profesi yang berhubungan langsung dengan anak didik. Guru bukan
hanya seseorang yang mengajar di sekolah formal, di luar sekolah formal pun ada
banyak profesi guru. Contohnya, guru bimbel dan guru ngaji. Guru ngaji
seharusnya menjadi profesi yang mulia karena mengajarkan
pengetahuan-pengetahuan agama kepada siswanya. Namun, apa jadinya bila guru
ngaji adalah seorang pedofilia. Tentu ini adalah hal yang sangat tidak wajar,
melihat bahwa adanya larangan yang tidak hanya pada norma yang berlaku namun
juga larangan dari agama. Seorang guru, terutama pengajar siswa dibawah 10
tahun seharusnya menjadi sosok yang dapat melindungi siswanya.
Sebagai
contoh pada kasus AK yang melakukan pedofilia pada anak didiknya, dimana AK
adalah seorang guru ngaji. Penulis tertarik pada kasus ini karena menurut data
statistik KPAI dinyatakan bahwa kasus pedofilia semakin tahun semakin
meningkat. Penulis bertujuan untuk membantu masyarakat dalam menyelesaikan
masalah pedofilia di indonesia.
BAB
2
1.1
Landasan teori
A. Teori behavioristik
(Gage dan Berliner)
Kasus
pedofilia dapat diteliti dan dianalisis oleh teori psikologi. Ada beberapa
tokoh psikologi yang mengemukakan teori yang bersinggungan dengan pedofilia,
contohnya, teori behavioristik (Gage dan Berliner) dan teori hierarki kebutuhan
oleh Abraham Maslow.
Behavioristik
adalah teori perkembangan perilaku yang dapat diukur, diamati dan dihasilkan
oleh respons pelajar terhadap rangsangan. Tanggapan terhadap rangsangan dapat
diperkuat dengan umpan balik positif atau negatif terhadap perilaku kondisi
yang diinginkan. Hukuman kadang-kadang digunakan dalam menghilangkan atau
mengurangi tindakan tidak benar, diikuti dengan menjelaskan tindakan yang
diinginkan. Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan
oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari
pengalaman. Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang
berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan
pembelajaran yang dikenal sebaga ialiran behavioristik. Aliran ini menekankan
pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori
behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang
belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan
menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan
semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon
(Slavin,2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat
menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting
adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus
adalah apa saja yang diberikan guru kepada peserta didik, sedangkan respon
berupa reaksi atau tanggapan peserta didik terhadap stimulus yang diberikan
oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak
penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur.
Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang
diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh peserta didik (respon)
harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab
pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya
perubahan tingkah laku tersebut.
B. Teori Hierarki
Kebutuhan (Abraham Maslow)
Konsep
hierarki kebutuhan dasar ini bermula ketika Maslow melakukan observasi terhadap
perilaku monyet. Berdasarkan pengamatannya, didapatkan kesimpulan bahwa
beberapa kebutuhan lebih diutamakan dibandingkan dengan kebutuhan yang lain.
Contohnya jika individu merasa haus, maka individu akan cenderung untuk mencoba
memuaskan dahaga. Individu dapat hidup tanpa makanan selama berminggu-minggu.
Tetapi tanpa air, individu hanya dapat hidup selama beberapa hari saja karena
kebutuhan akan air lebih kuat daripada kebutuhan akan makan.
Kebutuhan-kebutuhan
ini sering disebut Maslow sebagai kebutuhan-kebutuhan dasar yang digambarkan
sebagai sebuah hierarki atau tangga yang menggambarkan tingkat kebutuhan.
Terdapat lima tingkat kebutuhan dasar, yaitu : kebutuhan fisiologis, kebutuhan
akan rasa aman, kebutuhan akan rasa memiliki dan kasih sayang, kebutuhan akan
penghargaan dan kebutuhan akan aktualisasi diri Maslow memberi hipotesis bahwa
setelah individu memuaskan kebutuhan pada tingkat paling bawah, individu akan
memuaskan kebutuhan pada tingkat yang berikutnya. Jika pada tingkat tertinggi
tetapi kebutuhan dasar tidak terpuaskan, maka individu dapat kembali pada
tingkat kebutuhan yang sebelumnya. Menurut Maslow, pemuasan berbagai kebutuhan
tersebut didorong oleh dua kekuatan yakni motivasi kekurangan (deficiency
motivation) dan motivasi perkembangan (growth motivation). Motivasi kekurangan
bertujuan untuk mengatasi masalah ketegangan mansuia karena berbagai kekurangan
yang ada. Sedangkan motivasi pertumbuhan didasarkan atas kapasitas setiap
manusia untuk tumbuh dan berkembang. Kapasitas tersebut merupakaan pembawaan
dari setiap manusia.
1.
Kebutuhan Fisiologis
Kebutuhan paling dasar pada setiap orang
adalah kebutuhan fisiologis yaknik kebutuhan untuk mempertahankan hidupnya
secara fisik. Kebutuhan-kebutuhan itu seperti kebutuhan akan makanan, minuman,
tempat berteduh, seks, tidur dan oksigen. Kebutuhan-kebutuhan fisiologis adalah
potensi paling dasar dan besar bagi semua pemenuhan kebutuhan di atasnya.
Manusia yang lapar akan selalu termotivasi untuk makan, bukan untuk mencari
teman atau dihargai. Manusia akan mengabaikan atau menekan dulu semua kebutuhan
lain sampai kebutuhan fisiologisnya itu terpuaskan. Di masyarakat yang sudah
mapan, kebutuhan untuk memuaskan rasa lapar adalah sebuah gaya hidup. Mereka
biasanya sudah memiliki cukup makanan, tetapi ketika mereka berkata lapar maka
yang sebenarnya mereka pikirkan adalah citarasa makanan yang hendak dipilih,
bukan rasa lapar yang dirasakannya. Seseorang yang sungguh-sungguh lapar tidak
akan terlalu peduli dengan rasa, bau, temperatur ataupun tekstur makanan.
Kebutuhan fisiologis berbeda dari
kebutuhan-kebutuhan lain dalam dua hal. Pertama, kebutuhan fisiologis adalah
satu-satunya kebutuhan yang bisa terpuaskan sepenuhnya atau minimal bisa
diatasi. Manusia dapat merasakan cukup dalam aktivitas makan sehingga pada
titik ini, daya penggerak untuk makan akan hilang. Bagi seseorang yang baru
saja menyelesaikan sebuah santapan besar, dan kemudian membayangkan sebuah
makanan lagi sudah cukup untuk membuatnya mual. Kedua, yang khas dalam
kebutuhan fisiologis adalah hakikat pengulangannya. Setelah manusia makan,
mereka akhirnya akan menjadi lapar lagi dan akan terus menerus mencari makanan
dan air lagi. Sementara kebutuhan di tingkatan yang lebih tinggi tidak terus
menerus muncul. Sebagai contoh, seseorang yang minimal terpenuhi sebagian
kebutuhan mereka untuk dicintai dan dihargai akan tetap merasa yakin bahwa
mereka dapat mempertahankan pemeuhan terhadap kebutuhan tersebut tanpa harus mencari-carinya
lagi.
2.
Kebutuhan Akan Rasa Aman
Setelah kebutuhan-kebutuhan fisiologis
terpuaskan secukupnya, muncullah apa yang disebut Maslow sebagai
kebutuhan-kebutuhan akan rasa aman. Kebutuhan-kebutuhan akan rasa aman ini
diantaranya adalah rasa aman fisik, stabilitas, ketergantungan, perlindungan
dan kebebasan dari daya-daya mengancam seperti perang, terorisme, penyakit,
takut, cemas, bahaya, kerusuhan dan bencana alam. Kebutuhan akan rasa aman
berbeda dari kebutuhan fisiologis karena kebutuhan ini tidak bisa terpenuhi
secara total. Manusia tidak pernah dapat dilindungi sepenuhnya dari
ancaman-ancaman meteor, kebakaran, banjir atau perilaku berbahaya orang lain.
Maslow, orang-orang yang tidak aman akan
bertingkah laku sama seperti anak-anak yang tidak aman. Mereka akan bertingkah
laku seakan-akan selalu dalam keadaan terancam besar. Seseorang yang tidak aman
memiliki kebutuhan akan keteraturan dan stabilitas secara berelebihan serta
akan berusaha keras menghindari hal-hal yang bersifat asing dan yang tidak
diharapkannya.
3.
Kebutuhan Akan Rasa Memiliki Dan Kasih
Sayang
Jika kebutuhan fisiologis dan kebutuhan
akan rasa aman telah terpenuhi, maka muncullah kebutuhan akan cinta, kasih
sayang dan rasa memiliki-dimiliki. Kebutuhan-kebutuhan ini meliputi dorongan
untuk bersahabat, keinginan memiliki pasangan dan keturunan, kebutuhan untuk
dekat pada keluarga dan kebutuhan antarpribadi seperti kebutuhan untuk memberi
dan menerima cinta. Seseorang yang kebutuhan cintanya sudah relatif terpenuhi
sejak kanak-kanak tidak akan merasa panik saat menolak cinta. Ia akan memiliki
keyakinan besar bahwa dirinya akan diterima orang-orang yang memang penting
bagi dirinya. Ketika ada orang lain menolak dirinya, ia tidak akan merasa
hancur. Bagi Maslow, cinta menyangkut suatu hubungan sehat dan penuh kasih
mesra antara dua orang, termasuk sikap saling percaya. Sering kali cinta
menjadi rusak jika salah satu pihak merasa takut jika kelemahan-kelemahan serta
kesalahan-kesalahannya. Maslow juga mengatakan bahwa kebutuhan akan cinta
meliputi cinta yang memberi dan cinta yang menerima. Kita harus memahami cinta,
harus mampu mengajarkannya, menciptakannya dan meramalkannya. Jika tidak, dunia
akan hanyut ke dalam gelombang permusuhan dan kebencian.
4.
Kebutuhan Akan Penghargaan
Setelah kebutuhan dicintai dan dimiliki
tercukupi, manusia akan bebas untuk mengejar kebutuhan akan penghargaan. Maslow
menemukan bahwa setiap orang yang memiliki dua kategori mengenai kebutuhan
penghargaan, yaitu kebutuhan yang lebih rendah dan lebih tinggi. Kebutuhan yang
rendah adalah kebutuhan untuk menghormati orang lain, kebutuhan akan status,
ketenaran, kemuliaan, pengakuan, perhatian, reputasi, apresiasi, martabat,
bahkan dominasi. Kebutuhan yang tinggi adalah kebutuhan akan harga diri
termasuk perasaan, keyakinan, kompetensi, prestasi, penguasaan, kemandirian dan
kebebasan. Sekali manusia dapat memenuhi kebutuhan untuk dihargai, mereka sudah
siap untuk memasuki gerbang aktualisasi diri, kebutuhan tertinggi yang
ditemukan Maslow.
5.
Kebutuhan Akan Aktualisasi Diri
Tingkatan terakhir dari kebutuhan dasar Maslow
adalah aktualisasi diri. Kebutuhan aktualisasi diri adalah kebutuhan yang tidak
melibatkan keseimbangan, tetapi melibatkan keinginan yang terus menerus untuk
memenuhi potensi. Maslow melukiskan kebutuhan ini sebagai hasrat untuk semakin
menjadi diri sepenuh kemampuannya sendiri, menjadi apa saja menurut
kemampuannya. Awalnya Maslow berasumsi bahwa kebutuhan untuk aktualisasi diri
langsung muncul setelah kebutuhan untuk dihargai terpenuhi. Akan tetapi selama
tahun 1960-an, ia menyadari bahwa banyak anak muda di Brandeis memiliki
pemenuhan yang cukup terhadap kebutuhan-kebutuhan lebih rendah seperti reputasi
dan harga diri, tetapi mereka belum juga bisa mencapai aktualisasi diri.
1.2
Kasus
Seorang guru agama di
Kampung Nagrog, Desa Padasuka, Kecamatan Sukarame, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa
Barat, diduga telah mencabuli 27 anak didiknya. Asep Kamaludin, 25 tahun,
merupakan guru madrasah ibtidaiyah (MI) atau setingkat sekolah dasar (SD) dan
madrasah tsanawiyah atau setingkat SMP.
Kepada penyidik
kepolisian, Asep mengaku telah melakukan aksi bejatnya sejak 2008. Orang tua
korban melaporkan Asep ke polisi. Ia kini meringkuk di ruang tahanan Polres
Tasikmalaya.
Menurut Asep, perbuatan
cabulnya itu dilakukan karena dia pernah disodomi saat masih anak-anak. Dia
mengaku melakukan aksi balas dendam. "Saya pernah disodomi saat masih
kecil oleh pemuda di kampung," kata dia saat ditemui di Mapolres Tasikmalaya,
Sabtu, 8 November 2014.
Selain sebagai guru MI
dan MTs, Asep juga berperan sebagai guru mengaji bagi sejumlah korban. Biasanya
pelaku menjalankan aksi bejatnya di rumahnya setelah kegiatan pengajian
selesai. "(Pencabulan) sejak saya masih kuliah," katanya. Asep baru
setahun lulus kuliah.
Modus pencabulan Asep
dilakukan dengan meminta anak didiknya menginap di rumahnya. Dia beralasan akan
memberikan pendidikan tambahan kepada muridnya. "Saya wajibkan siswa untuk
menginap setiap malam Minggu untuk belajar mengaji," ujarnya.
Saat menjalankan
aksinya, AK mengancam korban untuk tidak memberitahukan pencabulan ini kepada
orang tua korban. Selain itu, dia mengiming-imingi anak didiknya nilai bagus.
"Korban mungkin ketakutan, jadi tidak bilang sama orang tuanya," ia
menjelaskan.
Seorang korban, YA,
menjelaskan bahwa pelaku meminta dirinya menginap di rumah pelaku. Saat tengah
malam, pelaku meminta YA datang ke kamarnya. "Saya disuruh buka celana dan
berbaring," ucap YA.
Saat dicabuli, YA
mengaku tidak berani melawan karena takut. "Saya diancam agar tidak bilang
kepada siapa pun," ucapnya.
Kepala Unit PPA Satuan
Reserse dan Kriminal Polres Tasikmalaya Inspektur Dua Wahyu Hidayat mengatakan
pihaknya menerima laporan dari orang tua korban pada Selasa, 4 November 2014.
Polisi kemudian melakukan penyelidikan. "Orang tua melapor karena anaknya
mengaku telah disodomi," kata Wahyu.
Dari hasil penyelidikan
dan keterangan pelaku, jumlah korban mencapai 27 orang. Semua korban masih anak
kecil dan masih duduk di bangku SD. "(Korban) semuanya laki-laki,"
ucap Wahyu.
Sebanyak 16 anak yang
diduga menjadi korban tindak pencabulan tersangka Asep Kamaludin pagi tadi (11
November 2014) telah tiba di RSUD Tasikmalaya, Jawa Barat.
Seperti ditayangkan
Liputan 6 Siang SCTV, Selasa (11/11/2014), mereka dijadwalkan menjalani
pemeriksaan medis (visum) terkait dengan kasus pencabulan yang menimpa para
korban itu.
Pemeriksaan itu
merupakan rangkaian proses penyidikan di Polres Tasikmalaya yang sedang
berjalan. Hal itu juga untuk mempermudah pihak Dinas Kesehatan untuk memberikan
bantuan medis kepada para korban.
Hasil visum itu
nantinya akan diserahkan kepada tim penyidik sebagai alat bukti untuk menindak
lanjuti proses hukum. Beberapa waktu lalu para korban telah mendapat terapi
psikologis untuk menghilangkan trauma mereka.
Dalam sepekan terakhir,
kasus tindak pencabulan yang melibatkan Asep Kamaludin, seorang guru agama
mengejutkan warga Kampung Nagrog, Tasikmalaya.
Mereka tak menduga Asep
Kamaludin atau yang kerap disapa Emon diduga mencabuli 27 muridnya sendiri.
Ulah Emon pun berujung kemarahan warga setempat. Mereka menuntut keluarga Emon
angkat kaki dari Kampung Nagrog, meski kedua orangtua tersangka telah
menyampaikan maaf.
1.3 Analisis kasus
Jika
kita analisis kasus tersebut menurut teori behavior, dikatakan bahwa “terbentuknya
perilaku yang tampak sebagai hasil belajar” dalam kasus ini jelas sekali bahwa
Asep melakukan tindak pelecehan seksual berdasarkan pengalamannya di kampung
pada saat dahulu. Ini adalah salah satu faktor penyebab berkembangnya pelaku
pedofilia di Indonesia. Maka ini terbukti bahwa asep telah melakukan proses
belajar pada kejadian asusila dimasa lalunya dan membuat perubahan pada
perilakunya. Ada rangsangan stimulus yang diterima Asep pada saat itu dan
diperkuat dengan umpan balik negatif terhadap perilaku yang diterima. Jika saja
saat dahulu Asep mengatakan pada orang tuanya bahwa ia telah menjadi korban
asusila, pastilah orang tua Asep akan membawa Asep kepada seorang Psikolog dan
memberikan Asep pembelajaran-pembelajaran moral yang akan mengubah perilakunya
di kemudian hari.
Jika
kita tinjau kasus ini menurut teori hierarki kebutuhan, disebutkan bahwa
manusia membutuhkan rasa aman dalam hidupnya. Dengan semakin berkembangnya
kasus ini, maka terbukti bahwa anak-anak Indonesia belum mendapatkan rasa aman
yang cukup. Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh dalam hal ini, yaitu
kurang adanya perhatian khusus dari orang-orang sekitar (orangtua, masyarakat
dan khususnya pemerintah). Seharusnya orang tua memberikan edukasi seks lebih
dini kepada anak, agar anak tidak salah pengertian. Masa kanak-kanak adalah
masa yang paling rentan, maka perlu perhatian ekstra dari orang tua. Masyarakat
pun seharusnya ikut berkontribusi aktif dalam membantu para anak untuk
mendapatkan rasa aman mereka, dengan tidak membiarkan hal-hal negatif yang
dilakukan pada anak-anak di sekitar kita. Begitupun dengan pemerintah,
seharusnya ada hukum yang setimpal pada para pelaku kejahatan seksual (dalam
hal ini pedofilia) untuk membuat efek jera pada para pelakunya. Mengingat bahwa
besarnya efek yang akan terjadi setelahnya. Anak bukanlah objek untuk
diperlakukan seenaknya oleh orang dewasa, seperti yang telah dikemukakan oleh
Maslow bahwa anak juga membutuhkan rasa kasih sayang dari orang-orang
disekitar. Ini akan membuat anak merasa lebih diperhatikan dan dihargai.
Berdasarkan
analisis kasus diatas dapat disimpulkan bahwa ada 3 faktor yang sangat
berpengaruh terhadap berkembangnya kasus pedofilia di Indonesia, diantaranya:
a)
Faktor pengalaman, pengalaman memiliki
pengaruh efek terbesar dalam perkembangan kasus pedofilia. Karena korban
pedofilia adalah anak-anak dibawah umur, ini akan membuat skema pada diri
mereka bahwa pedofilia adalah hal yang biasa dan benar. Anak akan menikmati
proses tersebut dan mengulangnya saat mereka dewasa. Maka harus ada penanganan
dini bagi para korban pedofilia agar tidak terjerumus ke lubang yang sama.
b)
Faktor hukuman, hukuman yang diberikan
oleh para pelaku pedofilia di indonesia rupanya tidak memberikan efek jera.
Maka harus ada perhatian khusus dari pemerintah untuk mengkaji ulang hukuman
yang akan diberikan pada para pelaku pedofilia. Seperti halnya di negara-negara
Eropa, Pedofilia sudah diangkat statusnya menjadi “kejahatan luar biasa” yang
berarti setara dengan kasus narkoba dan pembunuhan. Hal ini merupakan langkah
yang sangat baik untuk menekan angka perkembangan Pedofilia
c)
Faktor lingkungan, kurang pedulinya
masyarakat terhadap hal-hal yang terjadi di sekitar mereka menjadi pemicu
leluasa nya para pelaku pedofilia untuk melakukan aksinya. Masyarakat harus
lebih peka terhadap hal-hal yang ada di sekitar agar para pelaku pedofilia
tidak dapat berulah. Masyarakat juga harus mendorong para korban pedofilia agar
mereka terbebas dari skema yang tidak diinginkan, bukan malah mengucilkannya.
Dengan mengucilkan para korban pedofilia maka mereka akan mendapatkan
pengajaran yang tidak baik dan akan meng skema kan diri mereka dengan jalan
yang salah.
Bab
3
1.1
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil analisa sebelumnya diketahui bahwa AK adalah seorang pedofilia, dan
diketahui bahwa AK berprofesi sebagai guru mengaji. AK menjadi seorang
pedofilia karena pengalaman pada masa kecilnya di masa lampau. Setelah AK
mendapatkan perlakuan tersebut AK tidak mengatakannya kepada orangtuanya,
akhirnya pengalaman itu menjadi melekat dalam memori AK. Ada beberapa faktor
yang berpengaruh terhadap perkembangan kasus pedofilia. Diantaranya;
Faktor
pengalaman. Pengalaman pada masa lampau dapat mempengaruhi kognitif seorang
yang mengalaminya, terlebih jika pengalaman tersebut tidak dikonsultasikan
dengan orang terdekat, akan menimbulkan tekanan dan memori yang sulit untuk
dilupakan sehingga menimbulkan sikap untuk melakukan hal yang sama
Kedua
adalah faktor hukum. Hukum yang kurang tegas juga sangat mempengaruhi
perkembangan pelaku pedofilia. Dengan longgarnya hukum, para pelaku pedofilia
dapat dengan leluasa untuk melakukan aksinya tanpa khawatir yang berlebihan
akan ganjarannya.
Ketiga
adalah faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang kurang peka dan perduli terhadap kasus pedofilia pun
menjadi sebab berkembangya kasus ini. Masyarakat perkotaan
yang telah menganut budaya modern yang mebuat mereka kurang perhatian terhadap situasi sekitar. Juga
masyarakat desa yang kurang memiliki pengetahuan mendalam
mengenai kasus ini membuat mereka menjadi kaum yang sedikit tertinggal dan kurang memiliki wawasan luas
terhadap sesuatu hal.
1.2
Saran
Untuk
menekan jumlah perkembangan para pelaku pedofilia perlu dilakukan upaya-upaya
yang ketat agar dapat terealisasi dengan baik. Ada beberapa hal yang dapat
mencegah dan mengobati para pelaku pedofilia. Pertama
adalah terapi, seorang anak yang menjadi korban pedofilia harus segera
dilakukan terapi untuk mengembangkan kognitifnya agar tidak melakukan hal yang
sama di kemudian hari. Orang tua harus menciptakan suasana aman dan nyaman di
rumah agar anak dapat dengan leluasa menceritakan pengalaman-pengalaman yang
telah ia lalui di setiap hari nya. Jika suasana rumah telah membuat anak
nyaman, maka seorang korban pedofilia pasti akan berani menceritakan
pengalamannya tersebut kepada orang tuanya.
Kedua
adalah hukum. Hukuman bagi para pelaku pedofilia haruslah tegas untuk
menimbulkan efek jera kepada pelaku. Ini juga yang menjadi faktor kenapa pelaku
pedofilia di indonesia malah semakin meningkat, karena hukumannya belum dapat
membuat pelaku jera.
Terakhir
adalah perhatian ekstra dari masyarakat. Masyarakat harus berperan aktif serta
peka terhadap hal-hal yang terjadi di sekitar. Masyarakat tidak boleh bersifat
acuh tak acuh terhadap apa yang sedang terjadi. jika terus dibiarkan, bukan
tidak mungkin yang akan menjadi sasaran selanjutnya kerabat terdekat.
Daftar
Pustaka
Feist, Jess and Feist,
Gregory J. (2008). Theories
of Personalities: Edisi ke Tujuh.
Edisi Bahasa Indonesia. Yudi Santoso
(Penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Belajar.
http://regional.kompas.com/read/2014/11/06/12475211/Cabuli.27.Anak.Didiknya.Guru.Agama.di.Tasik.Ditangkap
http://news.liputan6.com/read/2132293/korban-pencabulan-guru-agama-tasikmalaya-jalani-visum
http://www.tempo.co/read/news/2014/11/10/058620783/Guru-Ngaji-Pelaku-Sodomi-Bocah-Pernah-Jadi-Korban
Komentar
Posting Komentar